I. Membangun Kesadaran Kaum Tani
Pergolakan konflik di Jatigede antara rakyat dengan pemerintah telah berlangsung cukup panjang dan melelahkan. Itu yang dirasakan kaum tani di Jatigede hingga sekarang.
Perjuangan kaum tani di Jatigede antar warga telah dilakukan pada rezim berkuasa di era orde baru dan rezim reformasi sampai saat ini. Perlawanan rakyat telah menyebabkan pejuang kaum tani mengalami intimidasi, diskriminasi fisik yang menyebabkan cacat pisik dan fsikis yang menyebabkan trauma berkepanjangan para pejuang dan pembela kaum tani yang tertindas oleh rezim yang otoriter orba dan rezim reformasi sekarang.
Pasca reformasi, perlawanan kaum tani semakin terasa dan menyebar keseruruh pelosok desa yang akan di jadikan bendungan Jatigede. Gelombang reformasi tahun 1998 telah membuka sedikit ruang untuk para kaum tani dalam membela dan mempertahankan tanah sebagai alat produksi kaum tani dari keserakahan penguasa yang dzolim.
Pada era reformasi ini mulai di bangun perjuangan kaum tani di desa-desa yang tanahnya akan di gusur, yang melibatkan organ-organ kaum intelektual (intelektual organik). Model perjuangan ini yang tidak dilakukan pada rezim orba, yang di iringi oleh pembentukan organisasi-organisasi perjuangan lokal di jatigede. Dinamika perjuangan yang telah di lakukan oleh kaum tani bersama organisasinya yang dibangun terus melakukan perjuangan dalam mempertahankan tanahnya. Disisi lain kondisi objektif bendungan Jatigede juga mengalami percepatan dalam peroses penyelesaian pembangunnya. Kontradiksi ini yang terjadi hingga saat ini.
Yang menjadi pertanyaan besar sekarang, mengapa segala perjuangan kaum tani di Jatigede belum mencapai hasil yang maksimal??? Ini yang harus kita fikirkan bersama. Satu hal, bahwa kontradiksi pokok yang terjadi belum disadari oleh para kaum tani di Jatigede.
Apa yang menjadi kontradiksi pokok dan bagaimana memenangkan perjuangan kaum tani di Jatigede..? Kontradiksi pokok di wilayah konflik agraria jatigede adalah, antara kaum tani yang memiliki tanah sebagai alat produksi mereka dengan pemerintah (apartus negara) yang memiliki modal/kapital yang di iringi oleh berbagai regulasi neoliberal yang menjerat ruang gerak perjuangan kaum tani/rakyat. Disadari atau tidak, ini yang belum dipahami oleh para pejuang kaum tani di jatigede. Karena yang terjadi adalah pergeseran kontradiksi pokok tadi (mutasi kontradiksi).
Mari kita kupas permasalahan dan cara/metode perjuangan kaum tani di Jatigede. Tanah sebagai alat produksi kaum tani di jatigede dengan corak produksi pertanian dan ladang. Proses produksi pertanian ini yang harus dikelola untuk mencapai kesejahteraan petani di Jatigede. Bagaimana alat produksi/tanah ini dikelola dan bagaimana proses produksinya di lakukan, ini yang harus terus dipahami oleh para kaum tani di jatigede. Kepemilikan alat produksi/tanah oleh petani di jatigede juga harus mulai dipahami sebagai bagian yang tak terpisahhkan dari corak dan proses produksi yang terjadi. Kalau kita amati dengan kepemilikan alat produksi/tanah rata-rata 150 bata/KK corak produksi pertanian dan ladang. Sesuai dengan UUPA NO 5 tahun 1960 adalah 2 Ha. Kepemilikan tanah untuk petani yang disertai dengan penyediaan modal dan teknologi. Apa yang terjadi di jatigede adalah kontradiksi pokok ini tidak terjadi. Artinya, kaum tani di Jatigede yang telah memiliki tanah rata-rata 150 bata/KK, seharusnya dapat mempertahankannya, diiringi dengan tuntutan pemenuhan alat produksi/tabah 2 Ha sesuai dengan UUPA No. 5 tahun 1960. Bukan bergeser pada tuntutan memperoleh ganti-rugi tanah miliknya dari penguasa/pemerintah. Mengapa terjadi demikian? Ini adalah salah satu cara yang dilakukan oleh aparatus negara (pemerintah) agar perjuangan kaum tani di Jatigede selalu mengalami kelemahan/kekalahan. Kondisi ini nyata terjadi diwilayah konflik agraria Jatigede. Permasalahan ini yang menjadi tugas dan kewajiban kaum tani di jatigede dalam mempertahankan dan memenangkan perjuangan sejati, karena kaum tani sebagai Soko Guru negara.
II. Taktik Perjuangan Kaum Tani di Wilayah Konflik Agraria Jatigede
Para kaum tani harus mulai membentuk kelompok-kelompok tani didesanya masing-masing. Pengorganisasian kaum tani ini harus di bentuk dengan kesadaran para kaum tani. Pembentukan organisasi ini harus dilakukan dengan penuh kesadaran kaum tani diseruruh desa sehingga kaum tani memiliki kekuatan dalam mempertahankan hak-hak dasar kaum tani. Setelah kelompok-kelompok tani terbentuk, kemudian tanah-tanah dikelola sesuai dengan corak produksi dan dengan pengelolaan kolektif kaum tani sampai proses produksi dan pendistribusian hasil-hasil produksi dilakukan oleh kaum tani. Penguasaan dan pengelolaan alat-alat produksi pertanian harus dikontrol oleh kaum tani sendiri.
Setelah corak dan proses produksi pertanian di kelola oleh kaum tani secara kolektif, ini berarti penguatan insprastruktur (bangunan dasar) kaum tani telah terjadi. Corak produksi yang dilakukan oleh kaum tani sangat penting, karena akan mempengaruhi suprastruktur (bangunan atas) kaum tani itu sendiri. Artinya kalau corak produksi/sistem ekonomi (inprastruktur) yang dilakukan adalah kolektif, maka suprastrukturnya (politiknya) kolektif/demokratis/musyawarah.
Kalau proses penguatan dalam penguasaan alat-alat produksi kaum tani telah dilakukan secara simultan dengan proses pembentukan organisasi-organisasi/kelompok-kelompok tani dengan proses demokrasi, maka akan muncul kekuatan (bargaining power dan bargaining position) dalam memperjuangkan hak-hak hidup mendasar sebagai manusia seutuhnya di muka bumi pertiwi.
Kalau melihat kondisi perjuangan kaum tani di jatigede, proses penguatan insprastruktur dan suprastuktur belum dilakukan baik oleh kaum taninya sendiri maupun oleh para organisator-organisator pembela petani.Yang dilakukan adalah, hanya pengalihan kontradiksi pokok ke kontradiksi non pokok, sehingga dengan jelas dapat kita saksikan semua perjuangan dan perlawanan kaum tani dalam mempertahankan alat-alat produksi/tanah miliknya selalu mengalami kegagalan atau mudah patah di tengah jalan.
Disadari atau pun tidak, perjuangan kaum tani di Jatigede telah mengalami mutasi/pergeseran kontradiksi pokok, sehingga tuntutan dalam perjuangan hanya menuntut ganti-rugi tanah dan relokasi kepada pemerintah, bukan bagaimana cara menguatkan organisasi dan kelompok tani dalam menguasai alat-alat produksi untuk melakukan proses produksi dengan corak pengelolaan kolektif oleh kaum tani itu sendiri, seperti telah saya ulas di atas. Kondisi nyata ini diperparah lagi dengan, mekanisme dalam perjuangan menuntut proses ganti-rugi tanah milik kum tani dan relokasi selalu dan selalu di tumpangi oleh para pelaku yang oportunis dan reformis gadungan yang jelas-jelas merugikan kaum tani.
Para oportunis dan reformis gadungan ini, baik secara individu maupun yang tergabung dalam organisasi/LSM dari tingkat lokal seharusnya mulai disadari oleh kaum tani sebagai penghambat dalam perjuangan kaum tani di Jatigede, dalam proses penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan manusia yang didukung oleh modal dan teknologi supaya kaum tani benar-benar mencapai kemenangan yang fundamental. Potret yang terjadi selama kurang lebih satu dasawarsa, kaum tani di Jatigede telah di paksa oleh aktor-aktor organisasi lokal yang oportunis dan reformis gadungan untuk melakukan “onani dalam perjuangan”. Saya konkritkan. Massa dikumpulkan, kemudian dimobilisasi untuk aksi yang seolah-olah non-kooperatif oleh pelaku organ lokal tadi dengan imaginasi yang mengawang-ngawang seperti Dam Jatigede akan batal, mendapat ganti-rugi tanah dan perpindahan penduduk yang layak. Setelah selesai mobilisasi dan aksi masa dilakukan, para pelaku organ lokal asyik berbagi jatah uang haram bersama birokrasi mulai tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten. Ini potret yang tak terbantahkan terjadi dan dialami oleh kaum tani di wilayah konflik agraria Jatigede. Kenyataan dalam perjuangan ini dilakukan berulang-ulang dan tidak disadari oleh kaum tani. Ini adalah sebuah bentuk pembodohan kepada kaum tani di Jatigede karena mereka (kaum oportunis dan reformis gadungan) dengan jelas dan terang telah melakukan persetubuhan nyata dengan pihak musuh kaum tani di Jatigede. Ini adalah sebuah bentuk kooptasi yang dilancarkan pihak lawan dalam upaya meredam perjuangan kaum tani di Jatigede dalam melewati jembatan emas kemenangan.
Dalam momentum ini sudah saatnya kaum tani di Jatigede melakukan permenungan yang mendalam untuk mencoba langkah gerak perjuangan yang lebih maju dalam menata hidup dan kehidupan kaum tani yang lebih makmur, sejahtera dan berkeadilan. Karena kita hidup di atas tanah air Indonesia, yang seharusnya tanah/bumi, air, dan yang terkandung di dalamnya serta ruang angkasa diatasnya di kuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya hanya untuk rakyat/kaum tani. KAUM TANI, BERSATULAH...!!!
ConversionConversion EmoticonEmoticon