(Oleh: Anonim)
Vergadering atau rapat akbar atau rapat umum tentu saja bukan kata baru. Tentu juga bukan tindakan baru. Bila ingat hari kebangkitan nasional setiap tanggal 20 Mei, betapa kita di ingatkan pada masa-masa kebangkitan kaum pergerakan Indonesia yang penuh gegap gempita dan sorak-sorai perjuagan. Berbagai organisasi modern dilahirkan; Boedi Oetomo, Sarekat Islam, ISDV dan lain-lain. Modern dalam artian kepemimpinan organisasi tak lagi di dasarkan atas kharisma dan aturan anutan pemimpin tertentu, tetapi pada cita-cita dan asas modern yang menjadi landasan gerak organisasi.
Di sini dibutuhkan diskusi-diskusi, rapat-rapat organisasi dan kongres-kongres organisasi untuk memilih pemimpin mupun maupun menentukan program-program perjuangan. Perjuangan bersenjata yang tidak terorganisasi secara modern pun mulai di tinggalka. Kaum pergerakan lebih memilih membangun alat perjuangan modern: organisasi dan ilmu pengetahuan berserta cara berfikir modern. Dengan begitu perubahan kesadaran akan cita-cita dan arah perjuangan menjadi penting. Nasionalisme, sosialisme, demokrasi menjadi gagasan yang dibawa kaum pergerakan menggeser pemikiran tradisionalyang feodal, mistik dan tahayul.
Setidaknya begitulah kaum pergerakan memahami bagaimana ilmu pengetahuan Eropa telah mengalahkan dan menaklukan perjuangan gagah berani nenek miyang bangsa Indonesia. Cara perjuangan baru itupun diramaikan dengan kemunculan surat kabar-surat kabar, selebaran-selebaran teater-teater, lagu-lagu perjuangan, pemogokan-pemogokan buruh, pengakuan kembali tanah-tanah kaum tani dan vergadering (rapat akbar/rapat umum). Bentuk vergadering tentunya banyak menyita perhatian kaum pergerakan sebab dalam vergadering bisa saja dimunculkan selebaran-selebaran, teater-teater dan perunjukan-pertunjukan rakyat lainnya.
Persiapannya tentu juga tidak sebentar. Hampir kebanyakan tokoh pergerakan, mulai dari mereka yang berkumpul di lingkaran Serikat Islam (SI) dengan Tjokroaminoto sebagai pusat, sampai Indische Partij dengan Tjipto Mangoekoesoema dan Wouwes Dekker sebagai pusat, memanfaatkan vergadering untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan mendesak rakyat dan menjadikannya ajang pembelejetan kolonialisme. Para jurnalis yang kemudian tampil memimpin SI (Serikat Islam) pun tak lagi hanya menulis tapi juga berbicara dalam vergadering-vergadering. Demikianlah setidaknya Takashi Shiraishi mencatat; Di pusat-pusat SI, baik di pimpin pusat maupun di Bandung yang menjadi pusat oposisi, para jurnalislah yang tampil di muka.
Penjelasannya sederhana saja, karena SI bergerak untuk kepentingan perluasan saja. Kunci untuk melakukannya adalah surat kabar dan vergadering dan hanya jurnalis yang tau bagaimana cara menulis dalam surat kabar dan berbicara dalam vergadering-vergadering kepada orang-orang yang tidak dikenal dalam jumlah yang tidak diketahui. Akan tetapi para jurnalis yang memimpin SI sudah tidak seperti dulu lagi. Kini mereka tidak hanya menulis artikel, memberi komentar terhadap surat pembaca, menyunting dan menerbitkan surat kabar saja, tetapi juga mengorganisir dan berbicara dalam vergadering. Mendengar keluhan anggota-anggota SI yang dibawa ke hadapan mereka dan berunding dengan penguasa untuk menyelesaikan konflik yang timbul anara anggota SI dengan orang lain serta antara SI dengan penguasa setempat. Mereka telah menjadi pemimpin pergerakan yang profesional yang bersenjatakan keahlian menyediakan waktu 24 jam sehari untuk SI dan mencari penghasilan juga dari jabatan tersebut. Sebelumnya tidak ada orang yang hidup dengan cara seperti itu.
ConversionConversion EmoticonEmoticon