Bagi kaum sosialis ilmiah, perjuangan untuk mewujudkan sosialisme, mengandung pengertian bahwa terjadinya transformasi kepemilikan alat produksi ketangan masyarakat, membuat proletariat menjadi superior. Transformasi ke tangan proletariat tersebut adalah syarat, selain untuk mencapai kemakmuran, namun yang terpenting adalah menciptakan mewujudkan keadilan (menghilangkan penghisapan), kesetaraan (jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama dll), menghargai indivualitas, meningkatkan tenaga produktif manusia, solidaritas dan lain sebagainya, yang dihilangkan dalam masyarakat berkelas. Karena itulah, sehubungan dengan persoalan kepemilikan tanah oleh kaum tani, sosialis ilmiah tidak pernah menganjurkan untuk memuja-muja kepemilikan pribadi atas tanah.
Marx menjelaskan dalam artikel Penghapusan Hak Milik Atas Tanah bahwa: Pemilikan atas tanah-sumber awal dari semua kekayaan-telah menjadi masalah besar yang pemecahannya menentukan hari-depan klas pekerja. Lebih jauh menurut Marx:
Marx menjelaskan dalam artikel Penghapusan Hak Milik Atas Tanah bahwa: Pemilikan atas tanah-sumber awal dari semua kekayaan-telah menjadi masalah besar yang pemecahannya menentukan hari-depan klas pekerja. Lebih jauh menurut Marx:
“Yang kita perlukan ialah produksi yang hari demi hari meningkat, yang urgensinya tidak dapat dipenuhi dengan membiarkan sekelompok kecil individu mengaturnya sesuka mereka dan kepentingan-kepentingan pribadi atau secara bodoh menghabis-habiskan daya bumi (tanah). Semua cara modern seperti irigasi, drainasi, penggarapan tanah dengan mesin, pemeliharaan secara kimiawi, dsb, pada akhirnya haruslah dilakukan dalam pertanian. Namun, pengetahuan ilmiah yang kita miliki, dan alat-alat tehnik pertanian yang kita kuasai, seperti permesinan, dsb, tidak akan pernah dapat diterapkan secara berhasil kecuali dengan pembumidayaan tanah secara besar-besaran. Penggarapan tanah secara besar-besaran-bahkan dalam bentuk sekarang yang kapitalistik, yang memerosotkan produser itu sendiri menjadi sekedar hewan kerja-mesti menunjukan hasil-hasil yang jauh lebih unggul ketimbang penggarapan tanah secara sebagian-sebagian dan kecil-kecilan-tidakkah itu, jika diterapkan dalam dimensi-dimensi nasional, jelas memberikan dorongan luar biasa pada produksi? Kebutuhan rakyat yang terus-meningkat di satu pihak, terus meningkatnya harga produk-produk agrikultur di lain pihak, menjadi bukti yang tidak dapat disangkal bahwa nasionalisasi atas tanah telah menjadi suatu keharusan sosial. Pengerdilan produksi pertanian yang bersumber pada penyalahgunaan individual menjadi tidak dimungkinkan lagi dengan pelaksanaan kultivasi yang terkendali/diawasi, dengan suatu biaya dan demi keuntungan bangsa.”
Dalam rangka mendorong nasionalisasi tanah, kaum sosialis ilmiah tentu saja tidak cukup hanya sekadar berbicara tentang penghapusan kepemilikan pribadi semata, tanpa melihat keharusan sejarah sesuai tahap-objektif perkembangan masyarakatnya, saat ini dimana kapitalisme sedang mengalami perkembangannya, maka kebutuhan untuk suatu perubahan sistem ekonomi dan politik dengan garis borjuis demokratik adalah yang tidak terhindarkan dan tidak terbantahkan.
Penghapusan kepemilikan pribadi memang menjadi pemberhentian terakhir bagi kaum sosialis ilmiah, namun bukanlah seorang sosialis ilmiah yang baik apabila meninggalkan tugas-tugas terpentingnya sekarang, yang seratus kali lebih sukar. Revolusi Bolshevic di Rusia, dibawah kepemimpinan Lenin, mengerti betul akan tugas-tugas tersebut. Kondisi di Rusia yang terbelakang, bersentuhan dengan revolusi borjuis- proletar melawan borjuis, dan revolusi petani melawan tuan tanah dapat dikelola dengan baik. Lenin lah yang pertama kali mengajukan tesisnya tentang dua tahap revolusi yang tidak terinterupsi, yaitu revolusi borjuis-demokratik dan dilanjutkan dengan revolusi sosialis.
Penghapusan kepemilikan pribadi memang menjadi pemberhentian terakhir bagi kaum sosialis ilmiah, namun bukanlah seorang sosialis ilmiah yang baik apabila meninggalkan tugas-tugas terpentingnya sekarang, yang seratus kali lebih sukar. Revolusi Bolshevic di Rusia, dibawah kepemimpinan Lenin, mengerti betul akan tugas-tugas tersebut. Kondisi di Rusia yang terbelakang, bersentuhan dengan revolusi borjuis- proletar melawan borjuis, dan revolusi petani melawan tuan tanah dapat dikelola dengan baik. Lenin lah yang pertama kali mengajukan tesisnya tentang dua tahap revolusi yang tidak terinterupsi, yaitu revolusi borjuis-demokratik dan dilanjutkan dengan revolusi sosialis.
Pengajuan thesis ini didasarkan pada pengetahuannya yang mendalam tentang proses transisional, dimana pada saat itu di Rusia dan Eropa pada umumnya terdapat klas semi proletariat dan borjuis kecil yang sangat luas. Lenin mempercayai bahwa kaum marxis tidak bisa melompati batas-batas ini, yaitu apabila kaum proletariat di kota belum mampu berjuang bersama kaum miskin desa melawan tani kaya, karena dengan demikian artinya kaum tani secara keseluruhan masih dibawah kepemimpinan ekonomi, poitik, dan moral kulak, orang-orang kaya dan borjuis. Lenin tidak mau berkalkulasi tentang kombinasi kekuatan di kalangan tani “sehari setelah” revolusi borjuis- demokratik, pemaksaan nasionalisasi tanah segera, tanpa ada dukungan dari tani miskin, maka proletariat hanya akan menjadi minoritas yang dikepung (termasuk oleh tani miskin yang dimanipulasi untuk menggulingkan pemerintahan proletar).
Lebih jauh, aliansi proletariat dan tani juga akan dapat menetralisir kekuatan borjuis liberal, pimpinan alamiahnya kaum tani, yang dikenal tidak konsisten, menghianati revolusinya sendiri, sehingga hanya dengan cara inilah revolusi borjuis-demokratik semakin bisa dituntaskan, karena semakin lengkap, semakin cepat, dan semakin luas revolusi borjuis-demokratik tersebut, maka semakin teguhlah perjuangan menuju sosialisme.
Bahkan Lenin menilai bahwa, equal land tenure (pembagian tanah-tanah besar kepada tani miskin untuk dijadikan pertanian skala kecil-kecil) memiliki nilai revolusioner dalam revolusi borjuis-demokratik, karenanya kaum proletariat harus membantu perjuangan pembagian tanah-tanah besar kepada tani miskin tersebut, namun juga tidak menganjurkan. Yang terpenting diatas semua itu adalah memelihara aliansi dengan mayoritas tani—yang termiskin dan merupakan bagian semi-proletarnya.
Dengan adanya thesis tentang revolusi borjuis-demokratik, apakah berarti Lenin telah meninggalkan kediktatoran proletariat, sebagai bentuk kekuasaan transisional dari kapitalisme menuju sosialisme? Tidak, kekuasaan negara yang mengorganisir kekuatan kelas buruh, yang beraliansi dengan tani secara keseluruhan demi menuntaskan revolusi borjuis-demokratik, juga merupakan suatu bentuk kekuasaan kediktatoran proletariat, tapi belum menjadi kediktatoran sosialis proletar.
B. Arah Revolusi Demokratik di Indonesia
1. Pola Pengusasaan Lahan Oleh Masyarakat
Untuk menyelidiki penguasaan tanah oleh kaum tani, maka kita harus mengkaitkannya dengan berbagai macam kegiatan pertanian yang ada dan hubungan timbal baliknya dengan struktur kekuasaan politik. Sepanjang sejarah kita mengenal 4 bentuk kegiatan pengelolaan lahan, yaitu: sistem perladangan, yang berlangsung sejak jaman pra-sejarah, sistem kebun tradisional, dimulai sejak tahun 1200-an, sistem persawahan, yang dimulai sejak tahun 1600-an dan sistem perkebunan modern.
Sistem perladangan adalah suatu kegiatan pengelolaan lahan, yang pertama kali dikenal masyarakat, sistem ini dikenal secara umum, baik di Eropa ataupun Asian. Jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, pengusaan atas tanah sudah dilakukan oleh masyarakat yang hidup pada saat itu, penguasaan tersebut sifatnya tidak tetap, perpindahan dari satu tempat ketempat lain didasarkan pada ketergantungan alam untuk menyediakan sumber-sumber penghidupan, teknologi yang digunakan juga masih sangat sederhana seperti kapak batu dan peralatan-peralatan lain untuk mengolah lahan pertanian, penguasaan atas tanah pada saat itu hanyalah sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup (subsisten).
Babak selanjutnya, yaitu sistem kebun tradisional. Sistem ini terjadi sekitar tahun 1200-an, menurut para ahli, ciri utama dari berlangsungnya sistem ini adalah pada pengusahaan lahan dengan menanan tanaman-tanaman yang berumur relatif panjang seperti tanaman tahunan (annual plant) dan tanaman ramuan masak atau jamu, disamping tanaman keras berumur panjang. Sistem kebun tradisional ini, digunakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil ladang. Dengan adanya sistem kebun tradisonal ini membuat penduduk menetap lebih lama dari pada saat perladangan.
Sistem persawahan mulai dikembangkan sekitar tahun 1620 M. Teknologi yang dikembangkan juga lebih maju dan sudah menggunakan lahan pertanian secara menetap. Sistem ini sangat terkait erat perkembangan sistem pengelolaan lahan yang didukung teknologi dengan sistem irigasi yang kompleks dan permasalahan kepadatan penduduk. Sistem ini kemudian melahirkan sistem kekuasaan politik berbentuk kerajaan dimana kekuasaan atas tanah berada ditangan Raja, menurut Carl With Fogel, tuntutan secara organisasional dan tenaga kerja yang diciptakan oleh masyarakat Hidrolik (irigasi) cenderung menciptakan masyarakat Despotik. Maksudnya adalah bahwa sistem irigasi yang kompleks menghendaki sejumlah investasi tenaga kerja yang besar dan setidak-tidaknya akan berhubungan dengan kekuasaan politik yang terpusat. Sehingga saat inilah penguasaan dan pengelolaan atas tanah diatur melalui kekuasaan politik kerajaan. Corak perkembangan dalam pengembangan sistem pertanian telah menunjukan dalam hal fase perkembangan masyarakat Nusantara.
Sistem perkebunan modern, mulai intensif lahir bersama proses kolonialisme di Nusantara. Menurut Prof Sartono Katodiharjo dan Dr. Djoko Suryo sebenarnya, pengusahaan lahan untuk kepentingan perdagangan sudah di mulai sejak abad ke-10 misalnya dengan pengusahaan tanaman kopi, lada, kapur barus, rempah-rempah dan lada yang terjadi diberbagai tempat di Nusantara. Lada yang ditanam pada saat itu sangat laku di pasaran telah mendorong peningkatan pembukaan kebun rempah-rempah di Maluku dan menjadikan Malaka pada tahun 1500 M menjadi pusat perdagangan laut. Namun sebelum kolonialisme masuk, pengusahaan lahan untuk perdagangan masih terbatas sebagai usaha tambahan, skalanya kecil, tidak padat modal, penggunaan lahannya terbatas, sumber tenaga kerja juga terbatas pada anggota keluarga, kurang berorientasi pada kebutuhan pasar dan berorientasi pada kebutuhan subsisten.
2. Sejarah Panjang Penindasan Terhadap Kaum Tani
a) Jaman Kerajaan
Menurut Sejarawan Ong Hok Ham, bagi masyarakat Desa yang agraris, tanah merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Menurut tradisi, raja adalah pemilik tanah dalam arti bahwa secara teoritis ialah yang berkuasa atas tanah. Pendapat senada diungkapkan oleh Gunawan Wiradi dan Sediono M.P Tjondro Negoro yang mengatakan bahwa Raja merupakan pusat ketatanegaraan dan kedudukannya hampir bersifat Ilahiah.
Raja kemudian membagi-bagikan tanah tersebut kedalam berbagai penugasan/pengawasan kepada para pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di Istana, kepada para sentana (keluarga raja atau pamong desa) dan para narapraja (pegawai istana/abdi dalem), pembagian wilayah kekuasaan para pejabat tidak berdasarkan luas wilayah, tetapi dihitung berdasarkan jumlah cacah. Jadi pada masa itu, penguasaan wilayah kalah penting dibandingkan dengan penguasaan penduduk (tenaga kerja). Konsep kepemilikan tanah ini berbeda dengan Barat, dimana tanah-tanah tersebut tidak dimiliki oleh pejabat-pejabat atau penguasa (property/eigendom), di Nusantara, pejabat kerajaan hanya mempunyai hak yurisdiksi atas tanah-tanah di wilayahnya untuk dipertahankan, dikuasai, dan digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku, sistem seperti ini sering kita sebut Lungguh, yaitu tanah garapan yang diberikan pejabat kerajaan sebagai pengganti gaji sesuai kedudukannya, seperti yang terjadi pada masa akhir kerajaan Mataram penguasaan tanah oleh para pejabat terutama dibagi atas dasar sistem appanage, yaitu suatu bentuk penguasaan di mana penggunaan atas tanah itu dihadiahkan kepada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpulkan dari para petani. Tanah lungguh ini akan kembali kepada Raja jika para priayi dan abdi dalem ini ini dipecat atau meninggal dunia.
Tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak. Hal yang demikian ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kaum ningrat yang kokoh. Para pemegang tanah lungguh ini disebut patuh atau lurah patuh. Para patuh dapat memungut pajak atas tanah lungguh sebagai penghasilan mereka. Para patuh menyerahkan hak kekuasaan mereka pada bekel yang tinggal di pedesaan yang kedudukannya lebih rendah dari mereka. Bekel mengangkat sikep sebagai petani penguasa tanah yang mempunyai banyak tenaga kerja, yang disebut numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah), numpang dan bujang adalah lapisan terendah dalam masyarakat.
Tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat melanjutkan lungguh ini atau tidak. Hal yang demikian ini dilakukan untuk mencegah timbulnya kaum ningrat yang kokoh. Para pemegang tanah lungguh ini disebut patuh atau lurah patuh. Para patuh dapat memungut pajak atas tanah lungguh sebagai penghasilan mereka. Para patuh menyerahkan hak kekuasaan mereka pada bekel yang tinggal di pedesaan yang kedudukannya lebih rendah dari mereka. Bekel mengangkat sikep sebagai petani penguasa tanah yang mempunyai banyak tenaga kerja, yang disebut numpang (tanggungan) dan bujang (belum menikah), numpang dan bujang adalah lapisan terendah dalam masyarakat.
Disamping itu, pada masa ini kita juga mengenal ada tanah-tanah yang dipergunakan untuk kepentingan keagamaan, dan tanah milik pedesaan yang tidak begitu jelas bagaimana organisasi didalamnya. Gunawan Wiradi berpendapat juga bahwa terdapat petunjuk-petunjuk tentang penguasaan Individual maupun penguasaan kolektif atas tanah. Kutipan tulisan dari seorang Belanda yang bernama Van der Meer mengatakan bahwa:
”Hak penguasaan perorangan diberlakukan terhadap seorang petani pionir, apabila dia sudah membuka tanah baru, maka dia diberi waktu tiga tahun untuk membangun sawah sebelum dikenakan wajib pajak. Pembukaan tanah dan pencetakan sawah yang dilakukan oleh beberapa orang petani bersama-sama menjadikan tanah tersebut menjadi tanah milik ’gabungan’. Jikalau seluruh penduduk desa bekerja sama membuka tanah, maka tanah tersebut menjadi milik kolektif sebagai sawah desa”.
Dalam bagian lain uraiannya Van deer Meer juga mengatakan bahwa:
”Pemilik sawah, petani bebas, atau penduduk inti, sebagai keturunan dari para pendiri desa yang mulai pertama membuka tanah merupakan lapisan elite desa, yang dikenal sebagai anak thani, atau kulina. Dengan demikan istilah kuli kenceng atau kuli kendo yang masih dikenal hingga saat ini tampaknya memang berasal dari kata kulina tersebut, dan bukan berasal dari (atau berbeda dengan pengertian) kata quli dalam bahasa Hindi yang artinya buruh atau pelayan.
Tanah milik individual ini, sering disebut tanah yasa. Tanah yasa bersifat tetap dan bisa di wariskan, sikep dapat memperluas tanah yasa dengan bantuan numpangnya, itulah mengapa seorang sikep di Madiun (tahun 1830) bisa memiliki lahan hingga 10 Ha. Numpang, selain bekerja kepada sikep juga mempunyai hak mengusahakan tanah-tanah persekutuan (tanah lanyah) secara bergiliran dan tidak boleh memilikinya.
Secara proporsi, komposisi masyarakat yang ada pada saat itu adalah sebagai berikut:
1. Penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak appanage atau lungguh dari Raja. Mereka berada pada lapisan paling atas dan dihormati oleh warga lain. Biasanya mereka adalah keluarga pembuka wilayah atau dari keluarga kerajaan.
2. Masyarakat tani (sikep), sebagai bagian inti masyarakat. Secara kuantitas jumlah mereka paling besar dibandingkan yang lain.
3. Para numpang (wuwungan), yang hidup sebagai buruh tani, dan membangun rumah dipekarangan sikep karena mereka tidak memiliki lahan sendiri. Mereka adalah petani tuna kisma.
4. Para bujang, yaitu mereka yang belum berkeluarga.
Penguasaan atas sumber agraria dan surplus produksi pertanian kepada raja ini telah menjadi tonggak awal terjadinya pemusatan dan penguasaan sumber agraria terutama tanah ketangan penguasa. Pola ini sekaligus menjelaskan bahwa sistem feodalisme di Nusantara lebih mirip sebagai masyarakat penyakap (menggarap tanah atas dasar bagi hasil), seperti yang sudah sering kita dengar.
b) Jaman Kolonialisme
Kemajuan-kemajuan penting dari pengelolaan tanah oleh masyarakat, menghasilkan kelebihan produksi rempah-rempah yang dapat di perdagangkan, menciptakan kerajaan-kerajaan pesisir, pembukaan kota-kota bandar dan menjadikan Malaka sebagai pusat perdagangan yang besar. Kelebihan akumulasi ini menjadi syarat kemajuan teknologi dan menyebabkan bangsa-bangsa diseluruh dunia mulai berhubungan satu dengan yang lainnya.
Seperti juga yang terjadi di negara-negara seluruh dunia, secara berturut-turut bangsa Portugis, Belanda, Inggris datang dan bersaing untuk menguasai sumber produksi. Kehadiran Belanda di nusantara diperkuat dengan adanya gabungan perseroan dagang Hindia Timur atau VOC yang didirikan pada tahun 1602. Pada tahun 1677, Mataram jatuh menjadi daerah protektorat VOC, sedikit demi sedikit Belanda semakin memperkuat dominasinya untuk memperoleh kekuasaan monopoli perdagangan dengan menarik para penguasa daerah kedalam pengaruhnya. Awalnya Belanda hanya berfungsi sebagai perantara antara berbagai pejabat daerah dengan raja, untuk menarik kontingensi (penyerahan wajib hasil-hasil bumi kepada Belanda), tetapi lama kelamaan, Belanda juga menguasai tanah untuk mengembangkan komoditi perdagangan baru, seperti kopi dan tebu yang memiliki prosperk cerah pada saat perkembangan abad ke-18, seperti yang dikatakan Burger bahwa perluasan daerah berupa perluasan pengaruh politik dan penguasaan sumber produksi komoditi pertanian dengan penyerahan wajib telah merubah kedudukan VOC dari ”pedagang menjadi Raja”, dari hanya menguasai politik perdagangan menjadi penguasaan terhadap sumber-sumber agraria yaitu penguasaan terhadap tanah sebagai basis produksi komoditi. Contohnya seperti yang terjadi kepada petani di daerah priyangan (priyangan stelsel) yang dipaksa menanam kopi. Melalui sistem penanaman wajib komoditi penduduk diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rodi untuk pembukaan lahan, penggarapan lahan, penanaman biji kopi, pemeliharaan, pemanenan, serta pengangkutan produksi dari kebun ketempat penimbunan kopi. Sistem penanaman wajib atau paksa mendatangkan keberhasilan besar dalam produksi kopi yang laku di pasaran Eropa.
Produksinya mampu mengunggguli produksi kopi dari Yaman yang saat itu dikenal sebagai produsen kopi terbesar ke pasaran Eropa. Elit pribumi dalam hal ini juga sangat berperan dalam pencapaian keberhasilan ini, yaitu dengan cara penentuan harga beli kopi yang rendah dari petani.
Produksinya mampu mengunggguli produksi kopi dari Yaman yang saat itu dikenal sebagai produsen kopi terbesar ke pasaran Eropa. Elit pribumi dalam hal ini juga sangat berperan dalam pencapaian keberhasilan ini, yaitu dengan cara penentuan harga beli kopi yang rendah dari petani.
Selain dengan pembukaan tanaman kopi untuk memperluas sumber pendapatan, VOC juga melakukan penyelengaraan persewaan desa dan tanah partikulir (Particuliere Landerijen). Praktek persewaan desa dilakukan dengan cara menyerahkan sejumlah tanah Desa kepada orang-orang Cina. Tanah-tanah desa itu disewakan dalam jangka waktu tertentu misalnya 3-10 tahun. Selama jangka waktu persewaan, pihak penyewa memiliki kekuasaan untuk menarik penghasilan dari desa yang semula ditarik oleh pihak kerajaan.
Pada awal abad ke-19 VOC bangkrut dan penguasaannya digantikan oleh pemerintah kerajaan Belanda yang dpimpin Gubernur Jenderal Deandels. Dia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi untuk menciptakan kekuasaan politik yang lebih sistematis. Tetapi sejauh itu, masalah penguasaan tanah secara formal belum memperoleh perhatian sepenuhnya.
Ketika Inggris menggantikan kedudukan Belanda di Nusantara, terjadi perubahan besar dalam hal ke-agrariaan. Kebijakan pertanahan secara legal formal dalam sejarah Nusantara sesungguhnya dimulai melalui kebijakan Gubernur Jenderal Raffles yang memerintah di Nusantara antara tahun 1811-1816. Kebijakannya dikenal dengan nama domein theory yang intinya menyatakan, semua tanah di negeri Hindia Belanda adalah “milik raja atau pemerintah”. Sewa tanah mulai diperkenalkan, kebijakan tersebut dilaksanakan dengan menyewakan tanah kepada seluruh kepala-kepala desa yang ada di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggung Jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Berdasarkan konsep diatas, Raffles memperkenalkan sistem Landrente, dimana semua subjek yang memakai atau menggunakan tanah harus membayar pajak kepada pemerintah Inggris. Maka pada tahun 1811 dibentuklah suatu panitia yang diketuai oleh Mackenzie (komisi Mackenzie) dengan tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria.
Sistem Pajak tanah (landrente) ini adalah salah satu realisasi dari gagasan pembaruan kaum liberal dalam kebijaksanaan politik di tanah jajahan. Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan oleh Raffles berpangkal pada pemungutan semua hasil penanaman, baik di lahan sawah maupun tegal. Penetapan pajak tanah didasarkan pada klasifikasi dalam tiga golongan; yaitu Golongan I Terbaik, Golongan II Sedang, Golongan III Kurang. Dalam prakteknya kemudian, pemungutan sewa tanah yang tidak hanya didasarkan pada luas tanah produktif, tetapi luasan tanah non-produktif juga dinilai dan dikenai pajak.
Aspek-aspek penting dari perubahan sistem agraria yang diterapkan Raffles yaitu: menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan rodi dengan memberikan kebebasan penuh kepada rakyat untuk menanam jenis tanaman yang hendak di tanam tanpa unsur paksaan, pengawasan terhadap tanah secara terpusat dan langsung serta penarikan pendapatan dan pengutan sewaannya dilakukan secara terpusat oleh pemerintah, tanpa perantaraan bupati dan penguasa lokal. Para Bupati dibebaskan dari ikatan tradisional dan dijadikan pegawai pemerintah kolonial dan pemerintah kolonial adalah pemilik tanah karena dianggap sebagai pengganti raja-raja di Nusantara. Dengan demikian para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah (tenant) milik pemerintah. Maka dari iu para petani harus membayar sewa tanah (landrent) yang digarapnya.
Sistem sewa tanah yang diterapkan itu mengandung konsekuensi yang mendalam bagi pergaulan kehidupan sosial ekonomi masyarakat tanah jajahan. Perubahan dari sistem paksa ke sistem sewa tanah mengandung konsekuensi bahwa seluruh kehidupan ekonomi yang semula diorganisasikan oleh penguasa pribumi (kepala desa, Bupati) dengan alat ikatan adatnya kemudian akan diganti dengan tata pertanian dan perdagangan bebas. Dengan demikian dasar kehidupan tradisonal dri masyarakat Nusantara yang masih susbsisten hendak diganti dengan dasar-dasar perdagangan/pasar.
Ketika Belanda kembali menguasai Nusantara, pemerintah kolonial berkeberatan menghapus sistem tanam wajib kopi yang sudah teruji mampu meningkatkan komoditi eksport untuk kepentingan penjajah. Sementara faktor lain gelora perlawanan rakyat melalui perang Diponegoro (1825-1830) ikut menambah keruwetan pemerintah kolonial Belanda dan mengganggu jalannya program bagi pemerintah jajahan. Pada waktu Gubernur Jenderal Van Den Bosch mulai memegang pemerintahan di Nusantara pada tahun 1830 sistem sewa tanah dihapuskan. Praktek dan filosofi penanaman paksa dihidupkan kembali.
Sistem Tanam Paksa yang ditetapkan sejak tahun 1830, berbeda dengan praktek sewa tanah, sistem tanam paksa menetapkan pemilik tanah tidak perlu lagi membayar landrente sebesar 2/5 dari hasil, tetapi 1/5 dari tanahnya harus ditanami tanaman tertentu yang dikehendaki oleh oleh pemerintah seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu, dan sebagainya. Kemudian hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial yang selanjutnya di eksport ke Eropa.
Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mempengaruhi dua unsur pokok kehidupan agraris pedesaan, yaitu tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa pertama-tama mencampuri sistem pemilikan tanah penduduk pedesaan karena para petani diharuskan menyerahkan tanahnya untuk ditanami tanaman eksport yang laku dipasaran. Tuntutan akan kebutuhan tanah pertanian untuk tanaman ekspor yang dilakukan dengan ikatan desa telah mempengaruhi pergeseran pemilikan dan penguasaan tanah dikalangan petani pedesaan.
Pergeseran pemilikan dan penguasaan atas tanah diakibatkan oleh beberapa faktor penyebab. Pertama, adanya pertukaran tanah pertanian rakyat sebagai kewajiban penyediaan tanah dan kerja kepada pemerintah kolonial maupun karena pengalihan pemilihan dari tanah perorangan menjadi tanah komunal milik pemerintah jajahan untuk tanaman eksport. Cara pertukaran dan pergeseran tanah hakikatnya merupakan salah satu upaya untuk menguasai tanah dan menyingkirkan kaum tani secara tertib dan teratur oleh pemerintah jajahan. Hal ini terlihat pada bukti bahwa petani-petani disekitar perkebunan tebu mendapat pengganti tanah garapannya di daerah pedesaan yang ada diluar lingkaran penanaman dan pengolahan tebu, sementara kualitas tanah penggantinya memiliki tingkat kesuburan yang jauh lebih rendah, akibatnya petani perlu mengeluarkan banyak waktu dan biaya untuk mengerjakan lahan tersebut. Kedua, dampak lain yang ditimbulkan sebagai akibat dari pertukaran dan penguasaan tanah oleh pemerintah kolonial adalah dorongan terjadinya fragmentasi tanah dikalangan penduduk pedesaan. Proses fragmentasi dapat terjadi melalui berbagai cara, baik dengan cara pewarisan, jual beli, maupun dengan cara pengaturan/pengambilalihan pemerintah desa setempat.
Salah satu dampak yang paling penting terlihat dalam praktek sistem tanam paksa terhadap kaum tani adalah diberlakukannya sistem kerja paksa. Sistem kerja paksa selama sistem tanam paksa diberlakukan terbagi atas kerja wajib Umum (Heerendiesten), Kerja wajib Pancen (Pancen Diesten) serta kerja wajib garap/penanaman (Cultuurdiensten). Kerja wajib umum merupakan pelayanan kerja untuk umum seperti pembuatan/perbaikan jalan, pembuatan bangunan gedung perkantoran, penjagaan tawanan dan sebagainya. Kerja wajib pancen merupakan tugas pelayanan kerja pertanian di tanah milik para kepala-kepala pribumi. Sementara kerja Kerja wajib garap/penanaman merupakan pengerahan kerja paksa untuk mengerjakan pembukaan lahan perkebunan, pembuatan dan perbaikan irigasi, kegiatan penanaman, pengangkutan hasil panen dari lahan ketempat penimbunan (gudang) atau ke pabrik pengolahan. Bentuk lainnya juga bisa berarti bekerja di perkebunan pemerintah, oleh karena itu sistem tanam paksa telah menyentuh unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris terutama di Jawa, sehingga dalam prakteknya semua pekerjaan yang dibutuhkan untuk kepentingan tanam paksa dilakukan dengan sistem kerja paksa.
Sejak sistem kerja paksa dalam mendukung pelaksanaan sistem tanam paksa dijalankan, sejak saat itu pulalah kerja disektor lain mulai diberlakukan, seperti, kerja pembangunan sarana dan prasarana (pelabuhan, bangunan pemerintahan dll) dengan menerapkan sistem kerja bebas bukan sistem kerja paksa lagi. Dari kenyataan historis demikian, sebenarnya pada fase ini telah lahir kelas Buruh di Nusantara. Sistem kerja bebas (kontrak) terhadap buruh yang diterapkan pada fase ini merupakan sistem yang pada masa kemudian diterapkan pada perkebunan negara dan industri di hari ini. Hal ini berarti sistem tanam paksa telah menyebabkan tenaga kerja rakyat pedesaan menjadi semakin terserap kedalam berbagai ikatan kerja baik ikatan tradisonal subsisten melalui ikatan desa yang masih feodal maupun dalam ikatan kerja bebas dan komersial dalam industri perkebunan dan jasa.
Pada prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering tidak sesuai dengan ketentuan tertulis. Sistem tanam paksa yang menggunakan kepala-kepala pribumi desa sebagai perantara merupakan salah satu sumber penyimpangan dalam praktek sistem tanam paksa di desa. Bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa pribumi tersebut adalah dalam hal penyediaan tanah. Bagi penanaman tanaman yang diminta oleh pemerintah jajahan ternyata dilakukan dengan paksaan, tidak sesuai dengan ketentuan yang semestinya dilakukan dengan sukarela dan perjanjian bersama. Kepala-kepala pribumi menjalankan sistem tanam paksa dengan membebankan penyediaan tanah dan tenaga kerja kepada kaum tani seluruh desa, padahal ketentuannya menyatakan bahwa sistem penyediaan tanah dan tenaga kerja semestinya dijalankan kepada penduduk secara invidual atas dasar status sosialnya (pemilik tanah dan bukan pemilik) agar mudah penanganannya. Penyimpangan-penyimpangan ini membawa akibatnya timbulnya perluasan tanah-tanah kaum tani yang dikuasai oleh pemerintah jajahan yang hakikatnya merupakan tanah yang dirampas dari rakyat.
Dalam praktek juga terjadi penyimpangan dalam hal penyediaan tanaman yang harus ditanami dan penguasaan atas tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib, bukan lagi 1/5 bagian tetapi 1/3, 1/2 atau bahkan seluruh tanah desa. Artinya, praktek sistem tanam paksa telah melahirkan satu kebijakan monopoli dalam hal komoditi produksi hasil tani dan sekaligus monopoli penguasaan atas tanah oleh pemerintah kolonial.
Selain itu, pemberian insentif (cultuurprosenten) secara financial kepada para pegawai pemerintah kolonial, dari Bupati hingga kepala desa, telah mendorong praktek penyalahgunaan wewenang. Demi memperoleh target dan uang insentif yang banyak, para pegawai tidak jarang melakukan penyimpangan-penyimpangan berupa perampasan tanah rakyat dan tenaga kerja paksa yang melebihi ketentuan dan tindakan-tindakan yang merugikan kaum tani.
Kemudian, setoran hasil tanaman oleh petani yang semestinya mendapat upah, dalam prakteknya tidak dibayarkan, kegagalan atas hasil panen dibebankan kepada kaum tani, yang semestinya tidak demikian, sehingga akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa secara sosial ekonomi kaum tani harus menderita kembali. Bukti sejarah mencatat, akibat pelaksanaan sistem tanam paksa terjadinya kelaparan di Demak (1848) dan Grobogan (1849) yang banyak membawa korban dan kematian penduduk.
Sedangkan bagi pemerintah Belanda, tanam paksa berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor, mengirimkannya ke negeri induk dan kemudian dijual kepasaran dunia dengan mendatangkan keuntungan besar. Secara umum pelaksanaan sistem tanam paksa dari masa tahun 1841 hingga 1863 telah mendatangkan laba sebesar f 461 juta. Keuntungan ini mampu melunasi seluruh utang luar negeri Belanda akibat perang. Selain itu politik perdagangan Belanda di perdagangan dunia sangat diperhitungkan sebagai negara penghasil komoditi tropis, terutama dengan berdirinya Netherlandsche Handels Maatschappij (NHM) sebagai perusahaan dagangnya.
Fase selanjutnya dengan kemenangan politik kaum liberal penguasaan tanah khususnya di Jawa memasuki babak baru. Hal ini dibuktikan dengan pembukaan tanah jajahan bagi penanaman modal swasta. Praktek yang dijalankan melalui pembukaan perusahaan perkebunan oleh swasta sebagai tonggak perkembangan baru yang mempengaruhi perubahan masyarakat Nusantara.
Agrarische Wet lahir dan dikeluarkan oleh pemerintah Belanda sebagai anti tesis dijalankannya sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel) sejak tahun 1830. Dalam sistem itu diberlakukan hak monopoli pemerintah disatu pihak dan sistem pengerahan tanah dan tenaga rakyat dalam memproduksi perbagai komoditi tersebut diatas pihak lain. Undang-undang ini memberikan bentuk pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan sertifikat tanah garapan sebagai perlindungan hukum kepada investor. Di sisi lain, tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini tanah milik pemerintah kolonial. Tanah inilah yang diberikan kepada investor asing. Hal ini diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan penting yang dikenal dengan agrarisch besluit yang diundangkan dalam Staatsblaad No.118, 1870. Pasal 1 agraisch besluit inilah yang memuat suatu pernyataan penting yang telah cukup dikenal dengan ”Domein Verklaring” yang menyatakan bahwa:
”Semua tanah yang tidak terbukti bahwa tanah tersebut adalah hak milik mutlak (eigendom) adalah domein negara” (artinya adalah milik mutlak negara)”.
Para investor juga dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah rakyat sekaligus mem-buruh-kan rakyat. Konsesi yang diberikan pemerintah kolonial kepada investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Hal ini menjadikan rakyat Nusantara semakin banyak yang menjadi buruh tani, buruh industri dan buruh perkebunan besar milik investor asing tersebut.
Politik etis yang dikenal dengan ”politik balas budi” merupakan program besar kaum liberal sebagai upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik penjajah. Program pendidikan misalnya, hanya diberikan kepada kalangan priyayi dengan tujuan untuk mengefisienkan birokrasi, pembangunan irigasi hanya untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya, sedangkan transmigrasi pada umumnya hanya untuk memobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.
Bersamaan dengan dikeluarkanya kebijakan hukum agraria, sebagai bentuk dukungan kongkrit kepada investor asing, NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang dan jasa pengangkutan barang dagang kemudian berubah menjadi bank. NHM memberikan dukungan bagi perluasan pabrik dan perkebunan besar lainya sebagai sayap ekonomi bagi pemodal untuk melancarkan usaha mereka. Pada waktu yang terdahulu sistem persewaan tanah tanpa didukung oleh kekuatan pinjaman kredit bank terbukti tidak mampu mengambangkan usaha perkebunan besar swasta di Nusantara. Tentu saja peralihan kebijakan perekonomian pemerintah kolonial telah menambah jumlah buruh modern
Dengan demikian tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah agraria Indonesia. Karena sejak saat itu pula maka semakin banyaknya modal swasta Eropa yang masuk untuk mengeruk dan mencengkram kekayaan alam Indonesia. Dengan kata lain seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa masa tahun 1870-1900 disebut sebagai jaman liberal. Tanah dan tenaga kerja sudah mengalami proses liberalisasi dari berbagai ikatan, yaitu ikatan feodal, ikatan tradisional dan ikatan desa meskipun dalam prakteknya ikatan-ikatan itu masih dipakai dalam memobilisir tenaga kerja dan tanah, kedudukan pemerintah diganti oleh kaum usahawan perkebunan, kerja paksa diganti dengan kerja upah, wajib serah tanah diganti dengan sewa tanah meskipun jenis tanaman yang dibudidayakan sama jenisnya ketika sistem tanam paksa diberlakukan dan lain sebagainya.
Jelas kiranya tujuan agrarische wet adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing berkembang di Indonesia. Pertama-tama dibuka kemungkinan untuk memperoleh tanah-tanah yang diperlukannya dengan hak Erpacht yaitu hak kebendaan akan menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu benda tak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban untuk membayar uang wajib tahunan kepada yang punya sebagai pengakuan hak eigendom-nya baik berupa uang atau hasil dari pendapatannya yang berjangka waktu lama. Hingga sekitar tahun 1940 dijumpai 2.977 pengusaha yang menguasai 2.845.370 Ha. Bahkan angka luas tanah perkebunan dengan hak konsesi mencapai 3.782.682 Ha.
Konsekwensi berikutnya juga muncul hak Opstal yaitu hak benda untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan atau tanaman-tanaman diatas tanah orang lain, tanah yang dapat diberikan dengan hak Opstal adalah tanah negara yang bebas, milik tanah perseorangan dan desa dapat diberikan hak opstal setelah sebelumnya dibebaskan lebih dahulu, hak Pakai (Gebruik) yaitu hak benda yang telah ditentukan dari seorang lantas dibebankan atas benda orang lain dengan memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya, dan hak Pinjam (Bruikleen) yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak memberikan dengan cara cuma-cuma kepada pihak lain atas suatu benda yang dipakainya.
Para pendukung kebijakan liberal mengharapkan bahwa dengan pembebasan kegiatan ekonomi akan terjadi transformasi kearah ekonomi modern. Pengelolaan administrasi secara modern pada perkebunan-perkebunan besar diharapkan dapat ditiru oleh para petani dengan mengelola usaha taninya, namun hal itu tidak terwujud, rakyat pedesaan yang pada mulanya adalah petani berubah menjadi buruh perkebunan.
c) Jaman Kemerdekaan/Orde Lama
Politik agraria, terjadi semangat luar biasa untuk menggeser kebijakan pemerintah hindia Belanda yang mengutamakan kepentingan akumulasi kapital dan pasar ke arah kebijakan populis dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang terkait dengan agraria dalam kerangka spirit memberikan akses yang luas pada penggunaan, pemilikan, dan penguasaan, menjadi semangat awal kemerdekaan.
Salah satu kebijakan negara adalah dengan mulai disusunnya hukum agraria nasional untuk mengatur penguasaan, pemilikan dan penggunaan sumber agraria yang salah satu bentuknya adalah tanah. Program tersebut kemudian di jalankan melalui program Landreform sebagai tahap awalnya. Diundangkannya UUPA 1960 dan UU No 56 tahun 1960 yang terkenal dengan Undang-Undang Landreform. Terlepas dari kelemahannya, UUPA 1960 lebih mendekati visi aliran populis dengan slogan sosialisme ala Indonesia.
Oleh karenanya, visi politik dalam kebijakan orde lama sangat dimusuhi oleh para pendukung sistem ekonomi pasar yang liberal termasuk dalam masalah pertanahan. Hal didasarkan pada pemikiran bahwa, dalam konteks ekonomi pasar bebas semua hal dapat dilakukan sebagai barang dagangan, termasuk tanah.
Dilihat dari perjalanan penyusunannya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan satu karya monumental karena dikaji dan diproses dalam waktu 12 tahun dengan melibatkan sejumlah panitia perumus dan dan sejumlah ahli. Ada lima kepanitiaan yang terlibat dalam proses penyusunanya, mereka terdiri dari: pemerintah terutama kementerian agraria, organisasi tani, ahli-ahli hukum adat, serikat-serikat buruh baik perkebunan maupun pabrik dan seksi agraria dari Universitas Gajah Mada. Secara Subtansi UUPA mengandung ketentuan yang bersifat revolusioner karena dimaksudkan untuk melakukan perubahan tatanan dan struktur penguasaan serta pemanfaatan sumberdaya agraria.
Pada tanggal 24 September 1960 rancangan undang-undang telah disetujui oleg DPR-GR dan di syahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar-dasar agraria yang menurut diktumnya dapat disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria. UUPA diundangkan dalam lembaran negara No.104, sedang penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaran negara No.2043. UUPA mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 24 September 1960.
Setelah UU ini ditetapkan, dimulailah serangkaian pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia, yang meliputi larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, larangan pemilikan tanah yang disebut tanah ”absentee” (kepemilikan tanah diluar dua kecamatan tedekat), redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta tanah-tanah yang kena larangan absentee, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, serta larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil.
Dalam menentukan luas maksimum pemilikan tanah tidaklah terbatas pada tanah-tanah miliknya sendiri, tetapi keseluruhan tanah-tanah pertanian yang dikuasainya. Dalam hal ini termasuk juga tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasainya dalam hubungan gadai, sewa dan sebagainya.
Persoalan tanah merupakan persoalan yang sangat rumit dan perlu ditinjau dalam berbagai aspek, keterjalinan kepentingan secara politik, ekonomi, dan sosial merupakan suatu kenyataan yang harus diungkap secara objektif. Bila dilihat dari keberhasilan dalam meredistribusi tanah, UUPA ini bisa dikatakan mengalami kegagalan, dari 26 juta Ha luas tanaman pangan yang ada, hanya berhasil diredistribusi sebanyak 3% dengan rata-rata luas tanah 0,66 Ha kepada 11% KK yang tidak bertanah (Syaiful Bahari, 2004), bandingkan dengan negara-negara lain ketika program landreform dijalankan, khususnya di Asia selama kurun waktu 1941-1951, Jepang telah meredistribusikan tanah sebanyak 41% dari luas tanah pertanian kepada keluarga yang tidak memiliki tanah, Korea Selatan telah meredistribusikan sebanyak 44% dari total luas lahan pertanian kepada 64% petani yang tak bertanah melalui program landreform pada tahun yang sama, sedangkan Taiwan pada tahun 1953 telah meredistribusikan sebanyak 44% kepada hampir 100% keluarga yang tidak memiliki tanah. Masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan UUPA, menurut berbagai sumber, adalah disebabkan oleh:
- Pada saat program landreform dicanangkan, masyarakat pedesaan khususnya Jawa sedang dilanda gejolak politik. Program landreform yang semula ditujukan untuk menciptakan keadilan sosial berubah menjadi elemen merebut dan mempertahankan kekuasaan politik. Konflik antara kekuatan politik tersebut sekaligus menandai pergeseran motif konflik agraria. Apabila pada jaman penjajahan telah terjadi konflik antara petani dan pemerintah kolonial, kini bergeser menjadi konflik antara golongan tuan tanah yang memiliki tanah yang luas dengan golongan yang tidak memiliki atau menguasai tanah. Sehingga landreform dipandang sebagai isu politik.
- Ciri-ci teritoral dari kepulauan Indonesia yang terdiri dari pulau besar dan kecil dengan sebaran penduduk yang tidak merata, menjadikan reforma agraria suatu hal yang sangat mendesak di beberapa pulau, tetapi tidak terlalu terlalu mendesak di beberapa pulau lainnya.
- Ketiadaan data mengenai pendaftaran kadaster, penguasaan minimun dan maksimum, jumlah petani tuna kisma (buruh tani) dan data tentang pemilikan/penyakapan tanah sementara data yang lebih akurat baru diadakan pada saat sensus penduduk tahun 1961. Sensus pertanian baru dilaksanakan tahun 1963, tiga tahun setelah UUPA di sahkan.
- Tidak adanya jabaran tentang pelaksanaan reforma agraria, sehingga rencana pembangunan ini, akhirnya memperoleh banyak kritik karena dasarnya yang lemah dan sasaran yang tidak mendasar.
- Banyak peraturan yang diterbitkan setelah diundangkannya UUPA 1960, seperti peraturan tentang pendaftaran tanah (peraturan pemerintah No.10 tahun 1961) yang merupakan upaya untuk melaksanakan redistribusi tanah dengan luas kepemilikan berlebihan, tidak begitu berhasil dilaksanakan.
- Kapasitas administrasi dalam departemen agraria sangat lemah, koordinasi dalam perencanaan dan dalam kegiatan antara departemen sangat buruk dan kurang kuat, hal ini juga terjadi pada koordinasi antar departemen, seperti pekerjaan umum, tranmigrasi, koperasi, dan pertanian untuk melaksanakan reforma agraria. Bahkan lebih sulit lagi untuk mencapai birokratisasi desa yang dalam kenyataannya tidak pernah sungguh-sungguh diupayakan, tak heran kemajuan redistribusi tanah juga aspek-asspek lain dari UUPA sangatlah sedikit.
- Tidak sempurnanya administrasi tanah mengakibatkan sukarnya mengetahui secara tepat luas tanah yang akan dibagikan dalam landreform. Kelemahan administrasi ini sering membuka peluang bagi penyelewengan-penyelewengan.
- Masih ada orang-orang yang belum menyadari penting dan perlunya landreform bagi penyelesaian revolusi.
- Sebagian anggota panitia tidak menaruh perhatian sepenuhnya terhadap pelaksanaan landreform karena kesibukan tugas atau kepentingan dirinya sendiri.
- Organisasi-organisai massa tani yang diharapkan memberi dukungan dan kontrol di sejumlah daerah belum diberi peranan dalam kepanitiaan landreform.
- Adanya tekanan-tekanan psikologis dan ekonomi dari tuan-tuan tanah kepada para petani dan sejumlah daerah membuat petani belum merupakan kekuatan sosial untuk memperlancar pelaksanaan landreform.
- Dalam penetapan prioritas, panitia sering menghadapi kesukaran-kesukaran karena penggarapan yang tidak tetap, perubahan batas admnistrasi pemerintah sehingga tanah itu menjadi tanah absentee (tanah guntai). Hal ini sering menimbulkan konflik antar petani dan antar golongan.
d) Jaman Orde Baru
Undang-Undang Pokok Agraria pada periode Orde Baru menurut Gunawan Wiradi masuk dalam peti es, pembicaraan umum tentang landreform khususnya kebijakan yang menyangkut atas tanah menjadi tabu dan beresiko tinggi, namun Orde Baru juga tidak mencabut UU ini, malah melahirkan berbagai undang-undang sektoral di bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan, penanaman modal asing yang bertentangan dengan UUPA.
Dalam konteks agraria, pertama, Orde Baru telah mengintegrasikan kebijakan agrarianya kedalam suatu gelombang ”revolusi hijau” yang dipromosikan oleh badan-badan pembangunan dunia yang tergabung dalam IGGI, Worl Bank dan IMF, yang mendorong Indonesia untuk menempuh jalan perubahan dengan mengintegrasikan dalam kapitalisme dunia. Ciri pokok kebijakan agraria Orde Baru pertama intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi irigasi serta melakukan investasi besar-besaran. Teknik-teknik pertanian baru diperkenalkan mencakup penggunaan input dan pupuk kimia, penyuluhan yang meluas, maupun penanaman varietas baru, termasuk penekanan-penekanan dalam mengenalkan teknolgi baru kepada petani. Kedua, kebijaksanaan penting yang menyangkut tentang tanah tidak dilandaskan azas reforma agraria, pemerintah melaksanakan program transmigrasi yang diyakini dapat mengurangi kesenjangan penyebaran penduduk, namun pelaksanaan transmigrasi yang dilakukan hanyalah memindahkan orang untuk tenaga kerja pertanian agar dapat meningkatkan produksi pertanian tanpa didukung pembangunan sarana dan prasarana pertanian. Ketiga, adanya larangan aktifitas politik pembangunan organisasi tani, aktifitas politik rakyat sangat dikontrol.
Dapat disimpulkan bahwa politik agraria dalam strategi pembangunan nasional yang dianut oleh rezim Orde Baru menganut paham pembangunan ekonomi kapitalistik, yaitu membuka ruang seluas-luasnya kepada investasi/pemodal swasta baik asing maupun domestik. Untuk mendorong pemodal besar dapat berinvestasi dan dapat perlindungan secara hukum, maka Orde Baru mengeluarkan undang-undang penanaman modal asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMA dan PMDN).
Sejak saat inilah terjadi ekspansi besar-besaran, pembangunan kawasan industri, pembangunan kota satelit maupun pembangunan mega proyek lainnya yang dibiayai melalui dana pinjaman. Konflik sumber agraria bermacam-macam wujudnya. Mulai dari penggusuran yang sewenang-wenang, masalah ganti rugi, masalah izin lokasi, masalah pemaksaan tanaman pangan, pelecehan hak-hak adat dan sebagainya. Hal ini berakibat pada penguasaan lahan yang semakin sempit bagi petani, data dari sensus pertanian 1993 menunjukan bahwa dari 19.713.806 rumah tangga tani, 22,41% (terbanyak) merupakan rumah tangga tani yang hanya menguasai lahan antara 0,25-0,49 Ha. Sedangkan jumlah keseluruhan rumah tangga tani yang menguasai lahan < 0,5 Ha jumlahnya mencapai 48,61% dari jumlah keseluruhan rumah tangga tani.
e) Jaman Reformasi
Selain ketimpangan struktur agraria, kaum tani Indonesia pada era reformasi ini didera kemiskinan yang akut akibat liberalisasi ekonomi yang semakin intensif. Pendapatan petani terus menurun, sementara biaya produksi semakin melonjak naik, belum lagi biaya hidup yang makin membengkak. Pasar dalam negeri dibanjiri produk pangan impor dalam jumlah besar, yang menjatuhkan produk petani. Proteksi terhadap produk-produk pertanian dihapuskan satu per satu oleh pemerintah.
Sejumlah negara maju seperti AS, Autralia dan lain-lain telah memaksakan kepentingan pasar mereka dalam Agreement on Agriculture (AOA), IMF dan Bank Dunia dan kesepakatan perdagangan bilateral yang agresif untuk mendorong liberalisasi perdagangan. IMF menekan pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif impor beras sampai 0% dan pada saat yang hampir bersamaan menyarankan untuk mencabut subsidi pupuk tanpa kompensasi apapun bagi petani. Melikuidasi peran BULOG sebagai satu satunya alat perlindungan harga dan penyangga stok beras nasional dan lain sebagainya.
Fakta-fakta lainnya adalah dengan munculnya berbagai UU yang mendorong kebebasan untuk menguasai sumber-sumber hidup rakyat, seperti UU Sumberdaya Air, (R)UU Pengadaan Tanah, UU Kelistrikan, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan lain-lain, yang berakibat penyingkiran rakyat dari sumber-sumber hidupnya seperti perampasan tanah dari petani. Luas konversi lahan pertanian menjadi berbagai macam peruntukan melaju sekitar 10.000 Ha per tahun, dan di pulau Jawa angkanya bahkan sudah mencapai 40.000 Ha per tahun, hal ini bisa terlihat, misalnya untuk sektor perkebunan, terjadi perluasan perkebunan sawit hingga 100.000 Ha dari yang asalnya 20.000 Ha saja. Padahal, berdasarkan penelitian SPI (2007), 60 persen dari keseluruhan lahan kebun sawit ini hanya dikuasai oleh 9 perusahaan saja dan pada tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan izin lokasi mencapai 26,7 juta Ha, sementara di sektor pertambangan, menurut data JATAM, dari 192.26 juta Ha wilayah Indonesia, 95.45 juta lahan telah dikontrak karyakan kepada perusahaan pertambangan baik dari dalam dan luar negeri dan lain-lain.
Seiring dengan ditetapkannya berbagai UU tersebut, diberbagai daerah muncul konflik-konflik pertanahan, menurut data BPS pada tahun 2007 jumlah konflik tanah yang masuk sebanyak 2.615 kasus dan meningkat menjadi 7491 kasus pada tahun 2009 di seluruh Indonesia dengan luas lahan konflik sebesar 608.000 Ha. Meningkat pula kasus-kasus kekerasan terhadap kaum tani, menurut catatan SPI, dalam empat tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas dalam 183 kasus bentrok bersenjata, menyeret 668 petani dikriminalkan dan 82.726 keluarga tergusur, Bahkan tahun ini eskalasi kekerasan terhadap petani semakin terlihat jelas, dalam empat bulan pertama tahun 2011 ini tercatat telah terjadi sembilan konflik agraria, antara masyarakat dengan pihak perkebunan dan melibatkan aparat pemerintah, yang menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak. Jumlah korban meninggal di empat bulan pertama ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah korban meninggal sepanjang tahun lalu.
Selain itu, terjadi juga liberalisasi dalam tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI, mengurangi secara bertahap subsidi pupuk hingga Rp 0,- di tahun 2012, mengurangi subsidi terhadap gas sebagai bahan dasar pembuatan pupuk, menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial sehingga mengakibatkan penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah.
Dan saat ini, yang paling dirasakan oleh kaum tani adalah, pengurangan tarif dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan bebas, sampai dengan 0% terhadap 59 jenis produk bahan pangan, diantaranya: beras, gandum, kedelai, bahan baku pangan pakan ternak, dan pupuk. Akibatnya pasar pertanian secara perlahan dibanjiri produk pangan impor dari negeri maju, sementara dilain pihak, negara maju seperti USA, Uni-Eropa, Jepang dan Kanada justru menerapkan standar ganda (double standard) dalam berbagai aktivitas pertaniannya dengan negara lain, terutama praktek dumping. Lihat saja data-data impor produk pangan kita tahun 2011: beras 2 juta ton, kedelai 1.5 juta ton. Begitu juga gula, jagung, susu, daging sapi dsb sehingga total impor kita sekarang mencapai 65% dari keseluruhan kebutuhan pangan nasional.
Liberalisasi juga, munculnya oligopoli perusahaan swasta yang dapat mengendalikan harga produk pertanian, seperti kasus penurunan harga beli susu oleh Nestle dari petani. Posisi tawar kaum tani menjadi semakin kecil karena Nestle menyerap lebih dari 50% produksi susu dari petani.
Akibatnya, produksi pertanian didalam negeri terus menurun, seperti kedelai, beras dan lain-lain, angka petani tuna kisma/buruh tani dan penyempitan lahan petani meningkat dengan laju sekitar 13 juta kepala keluarga hingga tahun 2003, biaya produksi petani meningkat menjadi 2 kali lipat dari 250 ribu per Ha menjadi 450 ribu per Ha, angka kelaparan, kemiskinan, kekurangan gizi, putus sekolah, kematian ibu dan bayi yang menimpa keluarga tani meningkat dan lain sebagainya. Di seluruh Indonesia paling tidak terjadi lebih dari 3. 500 kasus kelaparan dan gizi buruk yang telah merenggut jiwa bayi dan anak. Dan lain sebagainya.
C. Perbaikan Apa Yang Dibutuhkan Oleh Kaum Tani
Perbaikan yang dibutuhkan pertama-tama adalah menghentikan semua paket liberalisasi disektor pertanian, mulai dari liberalisasi terhadap penguasaan sumber-sumber daya alam seperti air dan tanah, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dan liberaliasi terhadap sektor-sektor industri yang mendukung pertanian seperti: industri gas dan pupuk. Perbaikan berikutnya adalah meminta tanggung jawab negara untuk melindungi pertanian nasional, dengan memberikan berbagai macam bentuk bantuan seperti modal usaha dengan persyaratan yang ringan dan tanpa bunga atau minimal dengan bunga yang rendah, subsidi terhadap bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan pertanian (saprotan). Membangun infrastruktur untuk mendukung pertanian nasional, meningkatkan pengetahuan, teknik dan alat-alat pertanian sehingga tercipta produktifitas dan efisiensi. Selain itu pemerintah juga harus menyelesaikan sengketa-sengketa agraria secara adil dan mengembalikan tanah milik para petani, mengusut dan mengadili para pelanggar HAM yang telah melukai dan membunuh kaum tani. Dan membebaskan kaum tani untuk membentuk organisasinya sendiri, secara mandiri. Sekalipun saat ini tidak ada larangan untuk mendirikan organisasi, namun pemerintah masih diskriminatif, misalnya dalam hal pemberian bantuan, organisasi-organisasi yang didirikan secara independen tidak bisa mengakses bantuan tersebut.
Perbaikkan yang lain adalah, pemerintah juga harus mampu mengurangi beban hidup kaum tani untuk kesehatan, pendidikan, dan harga-harga barang kebutuhan pokok lainnya. Mahalnya biaya kesehatan, pendidikan menyebabkan jutaan rakyat, termasuk kaum tani tidak dapat mengakses kesehatan yang layak, pendidikan yang tinggi, memperbaikki gizi keluarga, membuat rumah yang sehat dan sebagainya.
Tetapi, agar seluruh tuntutan-tuntutan perbaikkan tersebut dapat dicapai secara tuntas, tidak mungkin bisa diatasi secara sektoral, tuntutan penghapusan liberalisasi di pertanian dengan menolak penguasaan atas sumber-sumber hidup seperti, air, tanah dan bahan-bahan tambang, menolak perampasan tanah petani oleh perkebunan-perkebunan, menolak proyek-proyek infrastruktur yang mengkonversi lahan milik petani, menolak perdagangan bebas dan meminta proteksi negara atas produk-produk pertanian, menolak liberalisasi tata niaga pupuk, menolak privatisasi Bulog, menolak pencabutan subsidi pupuk, benih, alat-alat pertanian, menuntut pendidikan, kesehatan murah dan lain sebagainya adalah sama dengan menolak seluruh agenda imperialisme. Dia membutuhkan kehendak yang kuat dari pemerintah untuk merubah seluruh tata aturan imperialis yang menindas kaum tani. Hal ini tentu saja tidak mungkin bisa dipenuhi oleh pemerintahan yang patuh terhadap imperialisme.
Kaum tani membutuhkan suatu model khusus pemerintahan yang berpihak kepadanya, yaitu suatu pemerintahan yang berani menolak seluruh praktek penghisapan imperialisme, sekaligus dapat memberikan kesejahteraan kepada mayoritas kaum tani miskin, suatu pemerintahan borjuis nasional, sekalipun anti imperialis, tidak mungkin dapat memberikan kesejahteraan kepada mayoritas kaum tani. Pemerintahan borjuis nasional semacam itu, hanya akan kembali mengulangi penghisapan kepada mayoritas kaum tani, selama borjuis nasional masih memiliki sebagian besar kekayaan dan dengan kekayaannya tersebut mereka gunakan untuk melipat gandakan kekayaannya lagi, maka kaum tani miskinlah yang pertama-tama akan menjadi korban. Kita bisa mengambil contoh yang sederhana: kaum borjuis nasional akan mempromosikan suatu bentuk penguasaan tanah dan perdagangan yang adil, namun siapakah yang akan kemungkinan memenangkan persaingan ini? Dapatkah semua orang menyelinap menjadi petani kaya dalam sistem yang mengagungkan kepemilikan pribadi tanpa menaklukan atau menghisap orang lain?
Kaum tani hanya akan terbebaskan dari kemiskinan, jika bersama dengan kaum proletariat mengambil alih pemerintahan, dan bertindak untuk kepentingan mayoritas rakyat yang dimiskinkan oleh hubungan-hubungan produksi yang menghisap, yaitu pemerintahan buruh-tani.
D. Taktik-Taktik Perjuangan
Hal yang paling mendesak harus dilakukan sekarang adalah, bagaimana merumuskan taktik-taktik yang tepat untuk memenangkan tuntutan kaum tani. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah:
1. Melakukan kampanye seluas-luasnya, untuk penyadaran terhadap tuntutan, kepada seluruh masyarakat dan organisasi-organisasi, agar mendapatkan dukungan yang luas. Kampanye ini bisa dilaksanakan melalui berbagai macam media, baik dalam bentuk aksi, seminar, konferensi pers, selebaran dan lain sebagainya
2. Secara simultan terus menguatkan komitmen kepada anggota tentang tuntutan, sampai muncul kegembiraan dalam menuntut. Wadah-wadah atau organisasi yang dibangun kaum tani harus secara terus menerus diisi penyadaran, baik dalam bentuk diskusi, maupun pendidikan terjadwal.
3. Menciptakan ajang-ajang perjuangan/perdebatan terutama dalam bentuk konsolidasi, penyadaran dan tindakan berlawan, yang harus semakin tinggi, sampai memiliki militansi. Penyatuan-penyatuan konsolidasi, harus mulai bisa semakin ditinggikan, dari mulai konsolidasi basis, antar basis diteritori terdekat, kota, antar kota terdekat, wilayah sampai dengan nasional.
4. Meneliti/menemukan hambatan-hambatan mobilisasi, dan mencari jalan keluarnya. Biasanya kesulitan utama dalam mobilisasi kaum tani adalah tingkat represifitas yang tinggi, terutama hambatan dari preman-preman perusahaan, masalah yang biasa mucul lainnya adalah masalah keuangan, karena umumnya jarak tempat asal kaum tani sangat jauh dari kota sehingga hambatan untuk melakukan mobilisasi-mobilisasi ke kota menjadi besar. Semua hambatan-hambatan ini harus didiskusikan dengan massa luas dan ajaklah massa untuk ikut memikirkan jalan keluarnya.
5. Meneliti spektrum kekuatan politik yang dapat diajak kerjasama. Kerjasama politik ini diperlukan untuk menambah daya tekan. Ditengah situasi penindasan yang dialami maka kaum tani sangat mungkin menggalang persatuan di sektornya sendiri atau bersama sektor masyarakat tertindas lainnya. Kerjasama yang dibangun, harus semakin menjadi permanen sehingga kekuatannya akan bertambah besar.
6. Bersama kaum buruh membentuk pemerintahan alternatif. Kaum buruh adalah kawan aliansi kaum tani yang paling strategis, hal ini dikarenakan, dua sektor inilah yang paling menderita atas penindasan kapitalisme, dan nyaris tidak ada perbedaan yang radikal demi kepentingan sosialisme, kepemilikan tanah kecil oleh petani hanyalah proses transisional. Kepemilikan tanah kecil tidak akan merusak kepentingan sosialisme sejauh kontrol terhadap negara dapat dipegang demi kepentingan sosialisme dan sejauh menyokong perjuangan kaum tani melawan borjuasi.
ConversionConversion EmoticonEmoticon