Praktik tata kelola sumber daya alam di Indonesia, khususnya di sektor pertambangan ternyata belum berdampak pada peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat dan lingkungan hidup di Indonesia. Banyak kasus menunjukkan bahwa tata kelola sumber daya alam yang dilakukan oleh pengusaha /investor yang dilegitimasi oleh pemerintah menyisakan konflik, ketidakadilan dan pelanggaran HAM dan kerusakan ekologis baik di pesisir laut dan daratan.
Kasus di Pulau Tiaka Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah adalah salah satu kasus yang muncul hari ini menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 2011 dibalik ribuan kasus sengketa tata sumber kehidupan di sektor pertambangan yang telah terjadi di seluruh Indonesia. Kasus Tiaka Murowali adalah realitas nyata dimana negara belum menjamin hak-hak rakyat untuk hidup dan mengelola sumber daya alam, bahkan negara membiarkan pengusaha melakukan intimidasi bahkan melakukan penembakan yang berujung korban jiwa.
Merupakan suatu tindakan yang lazim dilakukan oleh masyarakat di manapun di Indonesia dalam menyampaikan pendapat khususnya terkait penagihan janji yang tidak terpenuhi atau karena mendapat perlakuan buruk dari pihak tertentu. Demikian pula hal yang sama dilakukan oleh warga Desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah terhadap Perusahaan minyak Joint Operating Body (JOB) yaitu PT. Pertamina - PT.Medco E&P Tomori yang beroperasi sejak tahun 2005
Masyarakat Desa Kolo Bawah telah menginginkan lama agar janji perusahaan sejak 2008 segera direalisasikan. Namun janji tersebut tinggal janji hingga jatuhnya dua korban jiwa. Tanpa harus berjanji sekalipun, perusahaan sesungguhnya berkewajiban menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam UU No.40 tahun 2007. Tanggung jawab sosial ini bukan dijalankan dengan sukarela melainkan wajib, sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 15/4/2007.
Apa yang dimintakan oleh warga Desa Kolo Bawah tidaklah berlebihan bila mengacu kepada undang-undang dimaksud. Dan justeru menjadi pertanyaan besar jika perusahaan sekelas Medco tidak menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana pula diamanatkan oleh UU No.40/2007. Kami sangat prihatin dan mengecam keras kondisi dan praktik demikian, karena dengan dikurasnya minyak di Bumi Sulawesi Tengah harusnya membawa kesejahteraan kepada warga sekitar sebagaimana pula diamanatkan oleh UUD 1945. Kenyataan malah berbicara lain, menepati janjipun tidak mampu, logikanya mana mungkin rakyat akan sejahtera.
Sebagai masyarakat yang menggantungkan sumber kehidupan dari hasil laut dan sejak PT. Medco beroperasi, masyarakat nelayan telah mengalami kesulitan karena laju geraknya terbatas oleh areal penambangan minyak. Ini pula salah satu penyebab nelayan tidak beranjak dari kemiskinan. Padahal, Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa negara harus memenuhi dan menjamin hak-hak konstitusional nelayan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, yakni (1) hak untuk melintas (akses melaut); (2) hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat; dan (3) hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan pesisir berdasarkan tradisi dan kearifan lokal yang telah dijalani secara turun-temurun. Bersama dengan penegasan hak-hak konstitusional nelayan itulah, Mahkamah Konstitusi membatalkan HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur sebelumnya di dalam UU Nomor 27 Tahun 2007.
Menjadi pertanyaan bersama kami pula mengapa pihak kepolisian (Brimob) selalu dengan gampang menembaki warga dan sungguh heran karena aparat melakukan pengejaran dan penembakan ditengah laut disaat masa pulang menuju kampung pasca aksi tanggal 22 Agustus 2011. Dalam insiden berdarah itu, Sdr. Marten meninggal saat dirujuk kerumah sakit dan menyusul Yuripin. Saat ini pula Andri Muhamad dalam posisi kritis setelah dada kanannya tertembak, dan masih terdapat lima orang lagi yang mengalami luka tembak.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi di Tiaka Murowali Sulawesi Tengah, maka Kami menyatakan Sikap :
1. Mengutuk tindakan refresif aparat negara yang tidak manusiawi
2. Mendesak Komnasham untuk melakukan investigasi atas tindakan brutal yang dilakukan oleh aparat kepolisian Murowali
3. Mendesak mundur Kapolres Morowali Sulawesi Tengah
4. Menyeret aparat kepolisian dan PT Medco E&P ke Pengadilan
5. Menolak praktik ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam (tambang) di seluruh Kawasan Indonesia
6. Mendesak Kementerian ESDM mencabut ijin PT Medco dan mengevaluasi ijin usaha dan praktik pertambangan di Indonesia.
7. Mendesak aparatur negara harus menjamin perlindungan dan keselamatan warga Tiaka dari ancaman apapun
8. Pengelolaan sumber daya alam oleh rakyat.
Bandung, Kamis, 25 Agustus 2011
---------
Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Jawa Barat,
Sarekat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS),
PERGERAKAN,
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat,
Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) Sumedang,
Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM) Bandung Raya,
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Barat,
PUsat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) Bandung
Kasus di Pulau Tiaka Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah adalah salah satu kasus yang muncul hari ini menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 2011 dibalik ribuan kasus sengketa tata sumber kehidupan di sektor pertambangan yang telah terjadi di seluruh Indonesia. Kasus Tiaka Murowali adalah realitas nyata dimana negara belum menjamin hak-hak rakyat untuk hidup dan mengelola sumber daya alam, bahkan negara membiarkan pengusaha melakukan intimidasi bahkan melakukan penembakan yang berujung korban jiwa.
Merupakan suatu tindakan yang lazim dilakukan oleh masyarakat di manapun di Indonesia dalam menyampaikan pendapat khususnya terkait penagihan janji yang tidak terpenuhi atau karena mendapat perlakuan buruk dari pihak tertentu. Demikian pula hal yang sama dilakukan oleh warga Desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah terhadap Perusahaan minyak Joint Operating Body (JOB) yaitu PT. Pertamina - PT.Medco E&P Tomori yang beroperasi sejak tahun 2005
Masyarakat Desa Kolo Bawah telah menginginkan lama agar janji perusahaan sejak 2008 segera direalisasikan. Namun janji tersebut tinggal janji hingga jatuhnya dua korban jiwa. Tanpa harus berjanji sekalipun, perusahaan sesungguhnya berkewajiban menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam UU No.40 tahun 2007. Tanggung jawab sosial ini bukan dijalankan dengan sukarela melainkan wajib, sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 15/4/2007.
Apa yang dimintakan oleh warga Desa Kolo Bawah tidaklah berlebihan bila mengacu kepada undang-undang dimaksud. Dan justeru menjadi pertanyaan besar jika perusahaan sekelas Medco tidak menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana pula diamanatkan oleh UU No.40/2007. Kami sangat prihatin dan mengecam keras kondisi dan praktik demikian, karena dengan dikurasnya minyak di Bumi Sulawesi Tengah harusnya membawa kesejahteraan kepada warga sekitar sebagaimana pula diamanatkan oleh UUD 1945. Kenyataan malah berbicara lain, menepati janjipun tidak mampu, logikanya mana mungkin rakyat akan sejahtera.
Sebagai masyarakat yang menggantungkan sumber kehidupan dari hasil laut dan sejak PT. Medco beroperasi, masyarakat nelayan telah mengalami kesulitan karena laju geraknya terbatas oleh areal penambangan minyak. Ini pula salah satu penyebab nelayan tidak beranjak dari kemiskinan. Padahal, Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa negara harus memenuhi dan menjamin hak-hak konstitusional nelayan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, yakni (1) hak untuk melintas (akses melaut); (2) hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat; dan (3) hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan pesisir berdasarkan tradisi dan kearifan lokal yang telah dijalani secara turun-temurun. Bersama dengan penegasan hak-hak konstitusional nelayan itulah, Mahkamah Konstitusi membatalkan HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur sebelumnya di dalam UU Nomor 27 Tahun 2007.
Menjadi pertanyaan bersama kami pula mengapa pihak kepolisian (Brimob) selalu dengan gampang menembaki warga dan sungguh heran karena aparat melakukan pengejaran dan penembakan ditengah laut disaat masa pulang menuju kampung pasca aksi tanggal 22 Agustus 2011. Dalam insiden berdarah itu, Sdr. Marten meninggal saat dirujuk kerumah sakit dan menyusul Yuripin. Saat ini pula Andri Muhamad dalam posisi kritis setelah dada kanannya tertembak, dan masih terdapat lima orang lagi yang mengalami luka tembak.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi di Tiaka Murowali Sulawesi Tengah, maka Kami menyatakan Sikap :
1. Mengutuk tindakan refresif aparat negara yang tidak manusiawi
2. Mendesak Komnasham untuk melakukan investigasi atas tindakan brutal yang dilakukan oleh aparat kepolisian Murowali
3. Mendesak mundur Kapolres Morowali Sulawesi Tengah
4. Menyeret aparat kepolisian dan PT Medco E&P ke Pengadilan
5. Menolak praktik ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam (tambang) di seluruh Kawasan Indonesia
6. Mendesak Kementerian ESDM mencabut ijin PT Medco dan mengevaluasi ijin usaha dan praktik pertambangan di Indonesia.
7. Mendesak aparatur negara harus menjamin perlindungan dan keselamatan warga Tiaka dari ancaman apapun
8. Pengelolaan sumber daya alam oleh rakyat.
Bandung, Kamis, 25 Agustus 2011
---------
Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Jawa Barat,
Sarekat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS),
PERGERAKAN,
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat,
Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) Sumedang,
Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM) Bandung Raya,
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Barat,
PUsat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) Bandung
ConversionConversion EmoticonEmoticon