Hortikultura, Potensi yang Masih Tak Berdaya
Produk hortikultura, terutama dari iklim tropis seperti Indonesia, seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman hias, mempunyai pangsa pasar tersendiri. Produk hortikultura, baik yang segar maupun olahan, telah menjadi salah satu komoditas perdagangan internasional. Potensi tersebut tentu menjadi peluang ekspor produk hortikultura Indonesia, sekaligus memberikan sumbangan bagi Produk Domestik Bruto (PDB).
Sekalipun di pasar Indonesia terlihat membanjirnya buah-buah impor, pemerintah masih melihat hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Demikian juga tanaman hias dan sayur-sayuran memiliki potensi ekspor yang besar, baik di Asia-Pasifik maupun negara-negara Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Kendati demikian, tidak berarti potensi ekspor hortikultura tersebut tidak mempunyai hambatan di pasar internasional. Salah satu kesulitan terbesar adalah mutu produk yang sulit dipenuhi oleh produsen asal Indonesia. Peningkatan mutu tanaman hias dan sayur-sayuran merupakan faktor penting dalam bersaing dengan negara-negara lain. Hal ini penting mengingat berbagai standar mutu internasional menyulitkan produksi petani lokal dari negara berkembang untuk menembus pasar negara-negara maju. Dengan kata lain, ada kondisi yang "tidak adil" dari negara-negara maju yang bersembunyi dibalik payung World Trade Organization (WTO, Organisasi Perdagangan Dunia).
Untuk Jepang pun buah-buahan segar, seperti jeruk, pisang, manggis, rambutan, nenas dan mangga dari Indonesia, masih sulit bersaing karena standar yang tidak sesuai dengan keinginan pasar. Konsumen di Jepang pada umumnya lebih menginginkan buah-buahan yang memiliki standar ukuran relatif sama besar, warna, rasa dan penampilan yang cukup menarik, serta pasokannya bisa dijamin secara berkelanjutan. Persaingan produk pun berasal dari Thailand, Vietnam dan Cina. Harus diakui bahwa serangan hama penyakit tanaman pada produk hortikultura masih cukup tinggi. Rata-rata dalam setahun serangan hama terhadap tanaman hortikultura di seluruh Indonesia saat ini mencapai 35 hingga 80 persen. Kondisi ini menyebabkan petani lokal cenderung memanfaatkan pestisida hingga melebihi batas ambang toleransi. Masih banyaknya kandungan residu pestisida yang berpotensi menjadi racun seharusnya diantisipasi dengan pemanfaatan teknologi yang sesuai. Kerugian ekonomis akibat serangan hama tersebut juga sangat tinggi. Upaya fumigasi (penghilangan jamur - Red) yang dilakukan terhadap semua produk ekspor hortikultura tampaknya belum optimal dan masih ada penolakan dari beberapa negara importir terhadap sejumlah produk Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Taiwan sangat ketat memberikan persyaratan atas produk asal Indonesia. Tidak hanya mutu, penanganan produk pascapanen hortikultura pun masih menghadapi beberapa kendala sehingga menghambat ekspor buah ke pasar dunia. Padahal, permintaan dan harga akan terus meningkat seiring dengan perbaikan pada pascapanen. Transportasi, pengawetan dan menjaga kualitas produk hortikultura segar merupakan hambatan terbesar bagi Indonesia. Bahkan, kini sejumlah negara Uni Eropa mulai April 2003 akan menerapkan sistem konsinyasi selama sebulan untuk mengantisipasi produk buah-buahan segar tidak laku. Selama kurun waktu tersebut transaksi bisa saja dibatalkan dan risiko kerugian yang akan diderita eksportir dan produsen Indonesia akan semakin tinggi.
Mutu dan penanganan pascapanen merupakan kendala tersendiri. Akan tetapi, pembenahan terhadap subsektor ini perlu strategi jangka panjang dari manajemen produksi, benih, permodalan, terbentuknya kelembagaan produsen yang kuat, restrukturisasi atas skala usaha yang kecil dan tersebar serta mempertahankan pasokan yang sesuai dengan permintaan pasar.
Kendala di atas perlu dibenahi sehingga perhatian tidak saja terfokus pada penanganan pascapanen dan pemasaran. Pembenahan tersebut akan berdampak pada produsen lokal sehingga tidak saja pedagang, termasuk eksportir, yang mengambil keuntungan. Sebagaimana usaha agribisnis lainnya, tata niaga hortikultura juga memiliki mata rantai panjang sehingga perdagangan selalu dikuasai tengkulak, pedagang pengumpul, dan pemodal. Ini perlu diatasi untuk membaca potensi pasar domestik antardaerah (antarpulau) yang masih terjadi ketimpangan. Setidaknya, potensi pasar internasional yang masih menyimpan banyak kendala, pasar domestik pun bisa menjadi peluang tersendiri. Pasar internasional dan domestik masih terbuka luas bagi produk hortikultura Indonesia. Akan tetapi dapatkah peningkatan produksi buah-buahan berdasarkan angka sementara Departemen Pertanian yang meningkat dari 9,4 juta ton pada 2001 menjadi 10,4 juta ton pada 2002 juga menunjukkan peningkatan pendapatan petani Indonesia?
ConversionConversion EmoticonEmoticon